Selasa, 30 Maret 2010

Flashdisk Transcend "write-protected"

Kemaren dapat keluhan dari teman kalo flashny gak bisa tambah file, delete file. selalu ada message "The Disk is Write-Protected!" bingung mau diapakan, dikira kena virus, d scan pun gak ono. cari di internet, ada blog yang ngajari dengan menggunakan :

Pertama : Jalankan Registry Editor ( Start Menu - Run, ketikkan : Regedit, kemudian tekan enter/klik OK)

Kedua : Carilah daripadanya
HKEY_LOCAL_MACHINE\SYSTEM\CurrentControlSet\Control\StorageDevicePolicies, lalu longoklah panel sebelah kanan jika ada tulisan writeprotect, langsung aja di dobelkan kliknya dan isikan 0 dibagian value data.


Ketiga : Penyegaran atau Refresh-lah

Keempat : Lepas USB Flashdisk nya dan cobalah mengkpoi atau mendelete file atau data dari USB Flashdisk tersebut.
dan yang ke lima : masih TETEP gak kenek d apak2no...

Akhirnya selancar2 ke google dengan kata kunci "transcend flashdisk write-protectd" (sing pnting ada makna yang dimaksudkan). ktemu dech caranya, kemudian saya berkunjung ke Transcend Download Center.
Download software JetFlash Online Recovery, kemudian jalankan dengan posisi USB flashdisk tertancap di PC atau Lepti kita. Dan biarkan software tersebut bekerja, dengan mengikuti langkah-langkahnya.

DAN AKHIRNYAAAAA... Flasdisk kembali sehat Wal `afiat..

langsung dech di serahkan kepada yang punya "Monggo Nona manis......"

hehehehehe :D

Semoga dapat bermanfaat

Selasa, 09 Maret 2010

Ketika Derita Mengabadikan Cinta

“Kini tiba saatnya kita semua mendengarkan nasihat pernikahan untuk kedua
mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat Prof. Dr. Mamduh Hasan
Al-Ganzouri . Beliau adalah Ketua Ikatan Dokter Kairo dan Dikrektur Rumah
Sakit Qashrul Aini, seorang pakar syaraf terkemuka di Timur Tengah, yang tak lain adalah juga dosen kedua mempelai. Kepada Professor dipersilahkan.
…”

Suara pembawa acara walimatul urs itu menggema di seluruh ruangan resepsi
pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi sungai
Nil, Kairo.

Seluruh hadirin menanti dengan penasaran, apa kiranya yang akan
disampaikan pakar syaraf jebolan London itu. Hati mereka menanti-nanti
mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan dengan
kesehatan syaraf dari professor yang murah senyum dan sering nongol di
televisi itu.

Sejurus kemudian, seorang laki-laki separuh baya berambut putih melangkah
menuju podium. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan wibawa.
Kepalanya yang sedikit botak, meyakinkan bahwa ia memang seorang ilmuan
berbobot. Sorot matanya yang tajam dan kuat, mengisyaratkan pribadi yang
tegas. Begitu sampai di podium, kamera video dan lampu sorot langsung
shoot ke arahnya. Sesaat sebelum bicara, seperti biasa, ia sentuh gagang
kacamatanya, lalu…

Bismillah, alhamdulillah, washalatu was salamu’ala Rasulillah, amma ba’du.
Sebelumnya saya mohon ma’af , saya tidak bisa memberi nasihat lazimnya
para ulama, para mubhaligh dan para ustadz. Namun pada kesempatan kali ini
perkenankan saya bercerita…
Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan fiktif belaka dan bukan
cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tak ternilai harganya,
yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya,
mempelai berdua dan hadirin sekalian yang dimuliakan Allah bisa mengambil
hikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambilah mutiaranya dan buanglah
lumpurnya.

Saya berharap kisah nyata saya ini bisa melunakkan hati yang keras,
melukiskan nuansa-nuansa cinta dalam kedamaian, serta menghadirkan
kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.
Tiga puluh tahun yang lalu …
Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah ke
atas. Ayah saya seorang perwira tinggi, keturunan “Pasha” yang terhormat
di negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari keluarga
aristokrat terkemuka di Ma’adi, ia berpendidikan tinggi, ekonom jebolan
Sorbonne yang memegang jabatan penting dan sangat dihormati kalangan elit
politik di negeri ini.

Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup dalam
suasana aristokrat dengan tatanan hidup tersendiri. Perjalanan hidup
sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma aristokrat. Keluarga
besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan aristokrat atau
kalangan high class yang sepadan!

Entah kenapa saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini. Saya
merasa terkukung dan terbelenggu dengan strata sosial yang didewa-dewakan
keluarga. Saya tidak merasakan benar hidup yang saya cari. Saya lebih
merasa hidup justru saat bergaul dengan teman-teman dari kalangan bawah
yang menghadapi hidup dengan penuh rintangan dan perjuangan. Hal ini
ternyata membuat gusar keluarga saya, mereka menganggap saya ceroboh dan
tidak bisa menjaga status sosial keluarga. Pergaulan saya dengan orang
yang selalu basah keringat dalam mencari pengganjal perut dianggap
memalukan keluarga. Namun saya tidak peduli.

Karena ayah memperoleh warisan yan sangat besar dari kakek, dan ibu mampu
mengembangkannya dengan berlipat ganda, maka kami hidup mewah dengan
selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa berlibur ke luar negri,
ke Paris, Roma, Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika berlibur di
dalam negeri ke Alexandria misalnya, maka pilihan keluarga kami adalah
hotel San Stefano atau hotel mewah di Montaza yang berdekatan dengan
istana Raja Faruq.

Begitu masuk fakultas kedokteran, saya dibelikan mobil mewah. Berkali-kali
saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan mobil biasa saja, agar
lebih enak bergaul dengan teman-teman dan para dosen. Tetapi beliau
menolak mentah-mentah.

“Justru dengan mobil mewah itu kamu akan dihormati siapa saja” tegas ayah.

Terpaksa saya pakai mobil itu meskipun dalam hati saya membantah
habis-habisan pendapat materialis ayah. Dan agar lebih nyaman di hati,
saya parkir mobil itu agak jauh dari tempat kuliah.

Ketika itu saya jatuh cinta pada teman kuliah. Seorang gadis yang penuh
pesona lahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan, dan
kemuliaan ahlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap dalam relung
hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan dan
kecerdasannya sangat menajubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi,
sama seperti saya.

Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga mencintai saya. Saya merasa telah
menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk menempatkan cinta
ini dalam ikatan suci yang diridhai Allah, yaitu ikatan pernikahan.
Akhirnya kami berdua lulus dengan nilai tertinggi di fakultas. Maka
datanglah saat untuk mewujudkan impian kami berdua menjadi kenyataan. Kami
ingin memadu cinta penuh bahagia di jalan yang lurus.

Saya buka keinginan saya untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati pada
keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu, dan
saudara-saudara saya semuanya takjub dengan kecantikan, kelembutan, dan
kecerdasannya. Ibu saya memuji cita rasanya dalam memilih warna pakaian
serta tutur bahasanya yang halus.
Usai kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Begitu saya
beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan membanting gelas
yang ada di dekatnya. Bahkan beliau mengultimatum: Pernikahan ini tidak
boleh terjadi selamanya!

Beliau menegaskan bahwa selama beliau masih hidup rencana pernikahan
dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh otak saya
nyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin yang tak
terkira.

Hadirin semua, apakah anda tahu sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku
sedemikian sadis? Sebabnya, karena ayah calon istri saya itu tukang
cukur….tukang cukur, ya… sekali lagi tukang cukur! Saya katakan dengan
bangga. Karena, meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati.
Seorang pekerja keras yang telah menunaikan kewajibannya dengan baik
kepada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi yang tak banyak
dilakukan para bangsawan “Pasha”. Lewat tangannya ia lahirkan tiga dokter,
seorang insinyur dan seorang letnan, meskipun dia sama sekali tidak
mengecap bangku pendidikan.

Ibu, saudara dan semua keluarga berpihak kepada ayah. Saya berdiri
sendiri, tidak ada yang membela. Pada saat yang sama adik saya membawa
pacarnya yang telah hamil 2 bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah ibu
langsung merestui dan menyiapkan biaya pesta pernikahannya sebesar 500
ribu ponds. Saya protes kepada mereka, kenapa ada perlakuan tidak adil
seperti ini? Kenapa saya yang ingin bercinta di jalan yang lurus tidak
direstui, sedangkan adik saya yang jelas-jelas telah berzina,
bergonta-ganti pacar dan akhirnya menghamili pacarnya yang entah yang ke
berapa di luar akad nikah malah direstui dan diberi fasilitas maha besar?
Dengan enteng ayah menjawab. “Karena kamu memilih pasangan hidup dari
strata yang salah dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan pacar
adik kamu yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabat
keluarga besar Al Ganzouri.”
Hadirin semua, semakin perih luka dalam hati saya. Kalau dia bukan ayah
saya, tentu sudah saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamat
sudah dekat, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi, namun yang
jelas berzina justru difasilitasi.

Dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk membela cinta dan hidup
saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahwa cara dan pasangan
bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selain
menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci yang saya yakini
kebenarannya. Itu saja.

Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui ayahnya. Dengan
penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dengan harapan
beliau berlaku bijak merestui rencana saya. Namun, la haula wala quwwata
illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahui
penolakan keluarga saya. Beliaupun menolak mentah-mentah untuk mengawinkan
putrinya dengan saya. Ternyata beliau menjawabnya dengan reaksi lebih
keras, beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap nekad menikah
dengan saya.

Kami berdua bingung, jiwa kami tersiksa. Keluarga saya menolak pernikahan
ini terjadi karena alasan status sosial , sedangkan keluarga dia menolak
karena alasan membela kehormatan.

Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap dan bertanya
kenapa orang-orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?

Setelah berpikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri
penderitaan ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke kantor
ma’dzun syari (petugas pencatat nikah) disertai 3 orang sahabat karibku.
Kami berikan identitas kami dan kami minta ma’dzun untuk melaksanakan akad
nikah kami secara syari’ah mengikuti mahzab imam Hanafi.
Ketika Ma’dzun menuntun saya, “Mamduh, ucapkanlah kalimat ini: Saya terima
nikah kamu sesuai dengan sunatullah wa rasulih dan dengan mahar yang kita
sepakati bersama serta dengan memakai mahzab Imam Abu Hanifah.”

Seketika itu bercucuranlah air mata saya, air mata dia dan air mata 3
sahabat saya yang tahu persis detail perjalanan menuju akad nikah itu.
Kami keluar dari kantor itu resmi menjadi suami-isteri yang sah di mata
Allah SWT dan manusia. Saya bisikkan ke istri saya agar menyiapkan
kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini belum berakhir.
Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, akad nikah kami
membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Begitu
mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayah dari rumah. Mobil dan
segala fasilitas yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa
apa-apa. Kecuali tas kumal berisi beberapa potong pakaian dan uang
sebanyak 4 pound saja! Itulah sisa uang yang saya miliki sehabis membayar
ongkos akad nikah di kantor ma’dzun.

Begitu pula dengan istriku, ia pun diusir oleh keluarganya. Lebih tragis
lagi ia hanya membawa tas kecil berisi pakaian dan uang sebanyak 2 pound,
tak lebih! Total kami hanya pegang uang 6 pound atau 2 dolar!!!

Ah, apa yang bisa kami lakukan dengan uang 6 pound? Kami berdua bertemu di
jalan layaknya gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat pada
puncak musim dingin. Kami menggigil, rasa cemas, takut, sedih dan sengsara
campur aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kaca
bertatapan penuh cinta dan jiwa menyatu dalam dekapan kasih sayang , rasa
berdaya dan hidup menjalari sukma kami.
“Habibi, maafkan kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini.
Maafkan Kanda!”
“Tidak… Kanda tidak salah, langkah yang kanda tempuh benar. Kita telah
berpikir benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak bisa
menghargai kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berpikir anak kecil.
Suatu ketika mereka akan tahu bahwa kita benar dan tindakan mereka salah.
Saya tidak menyesal dengan langkah yang kita tempuh ini.
Percayalah, insya Allah, saya akan setia mendampingi kanda, selama kanda
tetap setia membawa dinda ke jalan yang lurus. Kita akan buktikan kepada
mereka bahwa kita bisa hidup dan jaya dengan keyakinan cinta kita. Suatu
ketika saat kita gapai kejayaan itu kita ulurkan tangan kita dan kita
berikan senyum kita pada mereka dan mereka akan menangis haru.
Air mata mereka akan mengalir deras seperti derasnya air mata derita kita
saat ini,” jawab isteri saya dengan terisak dalam pelukan.

Kata-katanya memberikan sugesti luar biasa pada diri saya. Lahirlah rasa
optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu sirna seketika. Apalagi
teringat bahwa satu bulan lagi kami akan diangkat menjadi dokter. Dan
sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan menerima penghargaan
dan uang sebanyak 40 pound.

Malam semakin melarut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk di
emperan toko berdua sebagai gembel yang tidak punya apa-apa. Dalam
kebekuan, otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin
kami tidur di emperan toko itu. Jalan keluar pun datang juga. Dengan sisa
uang 6 pound itu kami masih bisa meminjam sebuah toko selama 24 jam.

Saya berhasil menghubungi seorang teman yang memberi pinjaman sebanyak 50
pound. Ia bahkan mengantarkan kami mencarikan losmen ala kadarnya yang
murah.

Saat kami berteduh dalam kamar sederhana, segera kami disadarkan kembali
bahwa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus mengarunginya
berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih sayang dan
perjuangan keras kami berdua serta rahmat Allah SWT.

Kami hidup dalam losmen itu beberapa hari, sampai teman kami berhasil
menemukan rumah kontrakan sederhana di daerah kumuh Syubra Khaimah. Bagi
kaum aristokrat, rumah kontrakan kami mungkin dipandang sepantasnya adalah
untuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah binatang kesayangan
mereka mungkin lebih bagus dari rumah kontrakan kami.

Namun bagi kami adalah hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu, jika
seorang gelandangan tanpa rumah menemukan tempat berteduh ia bagai
mendapat hadiah agung dari langit. Kebetulan yang punya rumah sedang
membutuhkan uang, sehingga dia menerima akad sewa tanpa uang jaminan dan
uang administrasi lainnya. Jadi sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk
3 bulan.

Betapa bahagianya kami saat itu, segera kami pindah kesana. Lalu kami
pergi membeli perkakas rumah untuk pertama kalinya. Tak lebih dari sebuah
kasur kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu kecil, dua kursi dan
satu kompor gas sederhana sekali, kipas dan dua cangkir dari tanah, itu
saja… tak lebih.

Dalam hidup bersahaja dan belum dikatakan layak itu, kami merasa tetap
bahagia, karena kami selalu bersama. Adakah di dunia ini kebahagiaan
melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagia
adalah hidup dengan gairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di dunia
merindukan surga di akhirat? Karena di surga Allah menjanjikan cinta.
Ah, saya jadi teringat perkataan Ibnu Qayyim, bahwa nikmatnya persetubuhan
cinta yang dirasa sepasang suami-isteri di dunia adalah untuk memberikan
gambaran setetes nikmat yang disediakan oleh Allah di surga. Jika
percintaan suami-isteri itu nikmat, maka surga jauh lebih nikmat dari
semua itu. Nikmat cinta di surga tidak bisa dibayangkan. Yang paling
nikmat adalah cinta yang diberikan oleh Allah kepada penghuni surga , saat
Allah memperlihatkan wajah-Nya. Dan tidak semua penghuni surga berhak
menikmati indahnya wajah Allah SWT.

Untuk nikmat cinta itu, Allah menurunkan petunjuknya yaitu Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul. Yang konsisten mengikuti petunjuk Allah-lah yang berhak
memperoleh segala cinta di surga.
Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus
mendekatkan diri kepada-Nya.

Istri saya jadi rajin membaca Al-Qur’an, lalu memakai jilbab, dan tiada
putus shalat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi Rabi’ah Adawiyah
yang larut dalam samudra munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang ia adalah
dokter yang penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yang
berkarakter dan berkepribadian kuat, ia bertekad untuk hidup berdua tanpa
bantuan siapapun, kecuali Allah SWT. Dia juga seorang wanita yang pandai
mengatur keuangan. Uang sewa sebanyak 25 poud yang tersisa setelah
membayar sewa rumah cukup untuk makan dan transportasi selama sebulan.

Tetanggga-tetangga kami yang sederhana sangat mencintai kami, dan kamipun
mencintai mereka. Mereka merasa kasihan melihat kemelaratan dan derita
hidup kami, padahal kami berdua adalah dokter. Sampai-sampai ada yang
bilang tanpa disengaja,”Ah, kami kira para dokter itu pasti kaya semua,
ternyata ada juga yang melarat sengsara seperti Mamduh dan isterinya.”
Akrabnya pergaulan kami dengan para tetangga banyak mengurangi nestapa
kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecil
layaknya saudara sendiri. Ada yang menawarkan kepada isteri agar
menitipkan saja cuciannya pada mesin cuci mereka karena kami memang dokter
yang sibuk. Ada yang membelikan kebutuhan dokter. Ada yang membantu
membersihkan rumah. Saya sangat terkesan dengan pertolongan- pertolongan
mereka.

Kehangatan tetangga itu seolah-olah pengganti kasarnya perlakuan yang kami
terima dari keluarga kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil
sama sekali untuk mencari dan mengunjungi kami. Yang lebih menyakitkan
mereka tidak membiarkan kami hidup tenang.

Suatu malam, ketika kami sedang tidur pulas, tiba-tiba rumah kami digedor
dan didobrak oleh 4 bajingan kiriman ayah saya. Mereka merusak segala
perkakas yang ada. Meja kayu satu-satunya, mereka patah-patahkan, begitu
juga dengan kursi. Kasur tempat kami tidur satu-satunya mereka
robek-robek. Mereka mengancam dan memaki kami dengan kata-kata kasar. Lalu
mereka keluar dengan ancaman, “Kalian tak akan hidup tenang, karena berani
menentang Tuan Pasha.”

Yang mereka maksudkan dengan Tuan “Pasha” adalah ayah saya yang kala itu
pangkatnya naik menjadi jendral. Ke-empat bajingan itu pergi. Kami berdua
berpelukan, menangis bareng berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalu
kami tata kembali rumah yang hancur. Kami kumpulkan lagi kapas-kapas yang
berserakan, kami masukan lagi ke dalam kasur dan kami jahit kasur yang
sobek-sobek tak karuan itu. Kami tata lagi buku-buku yang berantakan. Meja
dan kursi yang rusak itu berusaha kami perbaiki. Lalu kami tertidur
kecapaian dengan tangan erat bergenggaman, seolah eratnya genggaman inilah
sumber rasa aman dan kebahagiaan yang meringankan intimidasi hidup ini.

Benar, firasat saya mengatakan ayah tidak akan membiarkan kami hidup
tenang. Saya mendapat kabar dari seorang teman bahwa ayah telah merancang
skenario keji untuk memenjarakan isteri saya dengan tuduhan wanita tuna
susila. Semua orang juga tahu kuatnya intelijen militer di negeri ini.
Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di telapak
kaki mereka. Saya hanya bisa pasrah total kepada Allah mendengar hal itu.

Dan Masya Allah! Ayah telah merancang skenario itu dan tidak mengurungkan
niat jahatnya itu, kecuali setelah seorang teman karibku berhasil
memperdaya beliau dengan bersumpah akan berhasil membujuk saya agar
menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak
menjalankan skenario itu , sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan
saya akan menjadi lebih keras dan bisa berbuat lebih nekad.

Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku setiap pekan sambil meminta
beliau sabar, sampai berhasil meyakinkan saya untuk mencerai isteriku.
Inilah skenario temanku itu untuk terus mengulur waktu, sampai ayah turun
marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya bisa mempersiapkan
segala sesuatu lebih matang.

Beberapa bulan setelah itu datanglah saat wajib militer. Selama satu tahun
penuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang saya takutkan, tidak
ada pemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap bulan.
Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai.
Nyaris selama 1 tahun saya tidak bisa tidur karena memikirkan keselamatan
isteri tercinta.

Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatan
hamba-hamba- Nya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan dia
mendapatkan kesempatan magang di sebuah klinik kesehatan dekat rumah kami.
Jadi selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan rahmat Allah
SWT.

Selesai wajib militer, saya langsung menumpahkan segenap rasa rindu kepada
kekasih hati. Saat itu adalah musim semi. Musim cinta dan keindahan. Malam
itu saya tatap matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia
tersenyum manis. Saya reguk segala cintanya. Saya teringat puisi seorang
penyair Palestina yang memimpikan hidup bahagia dengan pendamping setia &
lepas dari belenggu derita:

Sambil menatap kaki langit
Kukatakan kepadanya
Di sana… di atas lautan pasir kita akan berbaring
Dan tidur nyenyak sampai subuh tiba
Bukan karna ketiadaan kata-kata
Tapi karena kupu-kupu kelelahan
Akan tidur di atas bibir kita
Besok, oh cintaku… besok
Kita akan bangun pagi sekali
Dengan para pelaut dan perahu layar mereka
Dan akan terbang bersama angin
Seperti burung-burung

Yah… saya pun memimpikan demikian. Ingin rasanya istirahat dari nestapa
dan derita. Saya utarakan mimpi itu kepada istri tercinta. Namun dia
ternyata punya pandangan lain. Dia malah bersih keras untuk masuk program
Magister bersama!

“Gila… ide gila!!!” pikirku saat itu. Bagaimana tidak…ini adalah saat
paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari pekerjaan sebagai
dokter di negara Teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang tidak
berperasaan. Tetapi istri saya tetap bersikukuh untuk meraih gelar
Magister dan menjawab logika yang saya tolak:

“Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan kita dan mendapat tawaran
dari Fakultas sehingga akan mendapatkan keringanan biaya, kita harus sabar
sebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam kebahagiaan.
Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita rengguk
sum-sum penderitaan ini. Kita sempurnakan prestasi akademis kita, dan kita
wujudkan mimpi indah kita.”

Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau
ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad baja istriku, hatiku pun
luluh. Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan
kekuatan jiwanya.

Jadilah kami berdua masuk Program Magister. Dan mulailah kami memasuki
hidup baru yang lebih menderita. Pemasukan pas-pasan, sementara kebutuhan
kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktek, buku, dll. Nyaris kami
hidup laksana kaum Sufi, makan hanya dengan roti dan air. Hari-hari yang
kami lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam hari
kami lalui bersama dengan perut kosong, teman setia kami adalah air keran.

Masih terekam dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama dalam
suatu malam sampai didera rasa lapar yang tak terperikan, kami obati
dengan air. Yang terjadi malah kami muntah-muntah. Terpaksa uang untuk
beli buku kami ambil untuk pengganjal perut.

Siang hari, jangan tanya… kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu,
terjelmalah kebiasaan dan keikhlasan.

Meski demikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah menyesal
atau mengeluh sedikitpun. Tidak pernah saya melihat istri saya mengeluh,
menagis dan sedih ataupun marah karena suatu sebab. Kalaupun dia menangis,
itu bukan karena menyesali nasibnya, tetapi dia malah lebih kasihan kepada
saya. Dia kasihan melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah,
tiba-tiba harus hidup sengsara layaknya gelandangan.

Sebaliknya, sayapun merasa kasihan melihat keadaannya, dia yang asalnya
hidup nyaman dengan keluarganya, harus hidup menderita di rumah kontrakan
yang kumuh dan makan ala kadarnya.

Timbal balik perasaan ini ternya menciptakan suasana mawaddah yang luar
biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak bisa lagi melukiskan rasa
sayang, hormat, dan cinta yang mendalam padanya.

Setiap kali saya angkat kepala dari buku, yang tampak di depan saya adalah
wajah istri saya yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam.
Saya kagum pada bidadari saya ini. Merasa diperhatikan, dia akan
mengangkat pandangannya dari buku dan menatap saya penuh cinta dengan
senyumnya yang khas. Jika sudah demikian, penderitaan terlupakan semua.
Rasanya kamilah orang yang paling berbahagia di dunia ini.

“Allah menyertai orang-orang yang sabar, sayang…” bisiknya mesra sambil
tersenyum.

Lalu kami teruskan belajar dengan semangat membara.

Allah Maha Penyayang, usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelar
Magister dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya 2 tahun saja! Namun, kami
belum keluar dari derita. Setelah meraih gelar Magister pun kami masih
hidup susah, tidur di atas kasur tipis dan tidak ada istilah makan enak
dalam hidup kami.

Sampai akhirnya rahmat Allah datang juga. Setelah usaha keras, kami
berhasil meneken kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan untuk
pertama kalinya, setelah 5 tahun berselimut derita dan duka, kami mengenal
hidup layak dan tenang. Kami hidup di rumah yang mewah, merasakan kembali
tidur di kasur empuk dan kembali mengenal masakan lezat.

Dua tahun setelah itu, kami dapat membeli villa berlantai dua di
Heliopolis, Kairo. Sebenarnya, saya rindu untuk kembali ke Mesir setelah
memiliki rumah yang layak. Tetapi istriku memang ‘edan’. Ia kembali
mengeluarkan ide gila, yaitu ide untuk melanjutkan program Doktor
Spesialis di London, juga dengan logika yang sulit saya tolak:

“Kita dokter yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui,
dan kita kini memiliki uang yang cukup untuk mengambil gelar Doktor di
London. Setelah bertahun-tahun hidup di lorong kumuh, tak ada salahnya
kita raih sekalian jenjang akademis tertinggi sambil merasakan hidup di
negara maju. Apalagi pihak rumah sakit telah menyediakan dana tambahan.”

Kucium kening istriku, dan bismillah… kami berangkat ke London.
Singkatnya, dengan rahmat Allah, kami berdua berhasil menggondol gelar
Doktor dari London. Saya spesialis syaraf dan istri saya spesialis
jantung.

Setelah memperoleh gelar doktor spesialis, kami meneken kontrak kerja baru
di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya. Bahkan saya diangkat sebagai
direktur rumah sakit, dan istri saya sebagai wakilnya! Kami juga mengajar
di Universitas.

Kami pun dikaruniai seorang putri yang cantik dan cerdas. Saya namai dia
dengan nama istri terkasih, belahan jiwa yang menemaniku dalam suka dan
duka, yang tiada henti mengilhamkan kebajikan.

Lima tahun setelah itu, kami pindah kembali ke Kairo setelah sebelumnya
menunaikan ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana raja dan permaisurinya yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup
bahagia, penuh cinta dan kedamaian setelah lebih dari 9 tahun hidup
menderita, melarat dan sengsara.

Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami kepada Allah swt
dan bertambahlan rasa cinta kami.

Ini kisah nyata yang saya sampaikan sebagai nasehat hidup. Jika hadirin
sekalian ingin tahu istri saleha yang saya cintai dan mencurahkan cintanya dengan tulus, tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai saat ini,
di kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab biru yang menunduk
di barisan depan kaum ibu, tepat di sebelah kiri artis berjilbab Huda
Sulthan. Dialah istri saya tercinta yang mengajarkan bahwa penderitaan
bisa mengekalkan cinta. Dialah Prof Dr Shiddiqa binti Abdul Aziz…”

Tepuk tangan bergemuruh mengiringi gerak kamera video menyorot sosok
perempuan separoh baya yang tampak anggun dengan jilbab biru. Perempuan
itu tengah mengusap kucuran air matanya. Kamera juga merekam mata Huda
Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru kedua mempelai, dan
segenap hadirin yang menghayati cerita ini dengan seksama.

Jumat, 05 Maret 2010

Bersama Kesulitan Ada Kemudahan

Wahai manusia, setelah lapar ada kenyang, setelah haus ada kepuasan, setelah begadang ada tidur pulas, dan setelah sakit ada kesembuhan. Setiap yang hilang pasti ketemu, dalam kesesatan akan datang petunjuk, dalam kesulitan ada kemudahan, dan setiap kegelapan akan terang benderang. {Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya) atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya.}
(QS. Al-Maidah: 52)

Sampaikan kabar gembira kepada malam hari bahwa sang fajar pasti datang mengusirnya dari puncak-puncak gunung dan dasar-dasar lembah. Kabarkan juga kepada orang yang dilanda kesusahan bahwa, pertolongan akan datang secepat kelebatan cahaya-dan kedipan mata. Kabarkan juga kepada orang yang ditindas bahwa kelembutan dan dekapan hangat akan segera tiba.

Saat Anda melihat hamparan padang sahara yang seolah memanjang tanpa batas, ketahuilah bahwa di balik kejauhan itu terdapat kebun yang rimbun penuh hijau dedaunan.

Ketika Anda melihat seutas tali meregang kencang, ketahuilah bahwa,tali itu akan segera putus.
Setiap tangisan akan berujung dengan senyuman, ketakutan akan berakhir dengan rasa aman, dan kegelisahan akan sirna oleh kedamaian.

Kobaran api tidak mampu membakar tubuh Nabi Ibrahim a.s. Dan itu, karena pertolongan Ilahi membuka "jendela" seraya berkata:
{Hai api menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.}
(QS. Al-Anbiya': 69)

Lautan luas tak kuasa menenggelamkan Kalimur Rahman (Musa a.s). Itu, tak lain karena suara agung kala itu telah bertitah, {Sekali-kali tidak akan tersusul. Sesungguhnya, Rabb-ku besertaku, kelak Dia
akan memberi petunjuk kepadaku.}
(QS. Asy-Syu'ara:: 62)

Ketika bersembunyi dari kejaran kaum kafir dalam sebuah gua, Nabi Muhammad s.a.w. yang ma'shum mengabarkan kepada Abu Bakar bahwa Allah Yang Maha Tunggal dan Maha Tinggi ada bersama mereka. Sehingga, rasa aman, tenteram dan tenang pun datang menyelimuti Abu Bakar.

Mereka yang terpaku pada waktu yang terbatas dan pada kondisi yang (mungkin) sangat kelam, umumnya hanya akan merasakan kesusahan, kesengsaraan, dan keputusasaan dalam hidup mereka. Itu, karena mereka hanya menatap dinding-dinding kamar dan pintu-pintu rumah mereka. Padahal, mereka seharusnya menembuskan pandangan sampai ke belakang tabir dan berpikir lebih jauh tentang hal-hal yang berada di luar pagar rumahnya.

Maka dari itu, jangan pernah merasa terhimpit sejengkalpun, karena setiap keadaan pasti berubah. Dan sebaik-baik ibadah adalah menanti kemudahan dengan sabar. Betapapun, hari demi hari akan terus bergulir, tahun demi tahun akan selalu berganti, malam demi malam pun datang silih berganti. Meski demikian, yang gaib akan tetap tersembunyi, dan Sang Maha Bijaksana tetap pada keadaan dan segala sifat-Nya. Dan Allah mungkin akan menciptakan sesuatu yang baru setelah itu semua. Tetapi sesungguhnya, setelah kesulitan itu tetap akan muncul kemudahan.

Kamis, 04 Maret 2010

This day is yours

Jika kamu berada di pagi hari, janganlah menunggu sore tiba. Hari inilah yang akan nda jalani, bukan hari kemarin yang telah berlalu dengan segala kebaikan dan keburukannya, dan juga bukan esok hari yang belum tentu datang. Hari yang saat ini mataharinya menyinari Anda, dan siangnya menyapa Anda inilah hari Anda.

Umur Anda, mungkin tinggal hari ini. Maka, anggaplah masa hidup Anda hanya hari ini, atau seakan-akan Anda dllahirkan hari ini dan akan mati hari ini juga. Dengan begitu, hidup Anda tak akan tercabik-cabik diantara gumpalan keresahan, kesedihan dan duka masa lalu dengan bayangan masa depan yang penuh ketidakpastian dan acapkali menakutkan.

Pada hari ini pula, sebaiknya Anda mencurahkan seluruh perhatian, kepedulian dan kerja keras. Dan pada hari inilah, Anda harus bertekad mempersembahkan kualitas shalat yang paling khusyu', bacaan al-Qur'an yang sarat tadabbur, dzikir dengan sepenuh hati, keseimbangan dalam segala hal, keindahan dalam akhlak, kerelaan dengan semua yang Allah berikan, perhatian terhadap keadaan sekitar, perhatian terhadap kesehatan jiwa dan raga, serta perbuatan baik terhadap \ sesama. Pada hari dimana Anda hidup saat inilah sebaiknya Anda membagi waktu dengan bijak. Jadikanlah setiap menitnya laksana ribuan tahun dan setiap detiknya laksana ratusan bulan. Tanamlah kebaikan sebanyak-banyaknya pada hari itu. Dan, persembahkanlah sesuatu yang paling indah untuk hari itu. Ber-istighfar-lah atas semua dosa, ingatlah selalu kepada-Nya, bersiap-siaplah untuk sebuah perjalanan menuju alam keabadian, dan nikmatilah hari ini dengan segala kesenangan dan kebahagiaan! Terimalah rezeki, isteri, suami, anak-anak, tugas-tugas, rumah, ilmu, dan jabatan Anda hari dengan penuh keridhaan.

Hiduplah hari ini tanpa kesedihan, kegalauan, kemarahan, kedengkian dan kebencian.
Jangan lupa, hendaklah Anda goreskan pada dinding hati Anda satu kalimat (bila perlu Anda tulis pula di atas meja kerja Anda): Harimu adalah hari ini. Yakni, bila hari ini Anda dapat memakan nasi hangat yang harum baunya, maka apakah nasi basi yang telah Anda makan kemarin atau nasi hangat esok hari (yang belum tentu ada) itu akan merugikan Anda?
Jika Anda dapat minum air jernih dan segar hari ini, maka mengapa Anda harus bersedih atas air asin yang Anda minum kemarin, atau mengkhawatirkan air hambar dan panas esok hari yang belum tentu terjadi?

Selasa, 02 Maret 2010

Rahasia Dibalik Perkawinan Nabi Muhammad Saw

Ketika orang-orang mendengar bawah Nabi Muhammad SAW mempunyai banyak istri semasa hidupnya, banyaklah timbul suara-suara yang sumbang kearah Nabi Muhammad SAW.

Padahal, kalau mereka mau menelaah lebih dalam untuk mengetahui apa rahasia dibalik perkawinan Nabi Muhammad SAW, niscaya mereka akan mengerti dan memaklumi adanya bahkan akan memuji kepintaran strategi dari Nabi besar Muhammad SAW, yaitu : "political and social motives".

Perkawinan pertamanya dengan Khadijah dilakukan ketika dia berumur 25 tahun dan Khadijah berumur 40 tahun. Selama hampir 25 tahuh, Nabi SAW hanya beristrikan Khadijah, sampai Khadijah meninggal dunia diumur 65 tahun (semoga Allah memberkahinya) .

Hanya setelah Nabi SAW berumur lebih dair 50 tahun, barulah nabi SAW mulai menikah lagi. Dengan demikian jelaslah bahwa jika memang Nabi SAW hanya mencari kesenangan semata, tentulah tidak perlu beliau menunggu sampai berusia lebih dari 50 tahun, baru menikah lagi. Tapi Nabi Muhammad SAW tetap mencintai Khadijah selamaa 25 tahun, sampai Khadijah meninggal dunia di usia 65 tahun.

Perkawinannya selanjutnya mempunyai banyak motive. Beberapa perkawinan adalah dengan tujuan membantu wanita yang suaminya baru saja terbunuh didalam membela Islam. Yang lain adalah demi menambah dan mempererat hubungan dengan salah satu pendukung fanantik Islam, Abu Bakr (semoga Allah memberkahinya) .

Ada juga dalam upaya membangun hubungan yang baik dengan suku-suku lain yang semula berniat memerangi Islam. Sehingga ketika Nabi SAW mengawininya, maka perang pun terhindarkan dan darah pun tak jadi tumpah.

Setidaknya, ada Professor Non-Muslim yang berkesempatan mempelajari secara langsung mengenai sejarah dan kehidupan Nabi Muhammad SAW berkesimpulan yang berbeda dengan kesimpulan kaum non-muslim lainnya.

John L. Esposito, Professor Religion and Director of Center for International Studies at the College of the holly cross, mengatakan bahwa hampir keseluruhan perkawinan Nabi Muhammad SAW adalah mempunyai misi sosial dan politik (political and social motives) (Islam The straight Path, Oxford University Press, 1988).

Salah seorang non-muslim lainnya, Caesar E. Farah menulis sebagai berikut: "In the prime of his youth and adult years Muhammad remained thoroughly devoted to Khadijah and would have none other for consort".

Caesar Farah pun berkesimpulan bahwa perkawinan Nabi Muhammad SAW lebih karena alasan politis dan alasan menyelamatkan para janda yang suaminya meninggal dalam perang membela Islam.

Sehingga memang jika melihat lagi ke sejarah, maka dapatlah diketahui apa alasan sebenarnya perkawinan nabi Muhammad SAW. Berikut ini kita tampilkan nama-nama Istri Nabi Muhammad SAW beserta sekilas penjelasannya:

1. Khadijah: Nabi mengawini Khadijah ketika Nabi masih berumur 25 tahun, sedangkan Khadijah sudah berumur 40 tahun. Khadijah sebelumnya sudah menikah 2 kali sebelum menikah dengan Nabi SAW. Suami pertama Khadijah adalah Aby Haleh Al Tamimy dan suami keduanya adalah Oteaq Almakzomy, keduanya sudah meninggal sehingga menyebabkan Khadijah menjadi janda. Lima belas tahun setelah menikah dengan Khadijah, Nabi Muhammad SAW pun diangkat menjadi Nabi, yaitu pada umur 40 tahun. Khadijah meninggal pada tahun 621 A.D, dimana tahun itu bertepatan dengan Mi'raj nya Nabi Muhammad SAW ke Surga. Nabi SAW sangatlah mencintai Khadija. Sehingga hanya setelah sepeninggalnya Khadijah lah Nabi SAW baru mau menikahi wanita lain.

2. SAWDA BINT ZAM'A: Suami pertamanya adalah Al Sakran Ibn Omro Ibn Abed Shamz, yang meninggal beberapa hari setelah kembali dari Ethiophia. Umur Sawda Bint Zam'a sudah 65 tahun, tua, miskin dan tidak ada yang mengurusinya. Inilah sebabnya kenapa Nabi SAW menikahinya.

3. AISHA SIDDIQA: Seorang perempuan bernama Kholeah Bint Hakeem menyarankan agar Nabi SAW mengawini Aisha, putri dari Aby Bakrs, dengan tujuan agar mendekatkan hubungan dengan keluarga Aby Bakr. Waktu itu Aishah sudah bertunangan dengan Jober Ibn Al Moteam Ibn Oday, yang pada saat itu adalah seorang Non-Muslim. Orang-orang di Makkah tidaklah keberatan dengan perkawinan Aishah, karena walaupun masih muda, tapi sudah cukup dewasa untuk mengerti tentang tanggung jawab didalam sebuah perkawinan. Nabi Muhammad SAW bertunangan dulu selama 2 tahun dengan Aishah sebelum kemduian mengawininya. Dan bapaknya Aishah, Abu Bakr pun kemudian menjadi khalifah pertama setelah Nabi SAW meninggal.

4. HAFSAH BINT U'MAR: Hafsah adalah putri dari Umar, khalifah ke dua. Pada mulanya, Umar meminta Usman mengawini anaknya, Hafsah. Tapi Usman menolak karena istrinya baru saja meninggal dan dia belum mau kawin lagi. Umar pun pergi menemui Abu Bakar yang juga menolak untuk mengawini Hafsah. Akhirnya Umar pun mengadu kepada nabi bahwa Usman dan Abu Bakar tidak mau menikahi anaknya. Nabi SAW pun berkata pada Umar bahwa anaknya akan menikah demikian juga Usman akan kawin lagi. Akhirnya, Usman mengawini putri Nabi SAW yiatu Umi Kaltsum, dan Hafsah sendiri kawin dengan Nabi SAW. Hal ini membuat Usman dan Umar gembira.

5. ZAINAB BINT KHUZAYMA: Suaminya meninggal pada perang UHUD, meninggalkan dia yang miskin dengan beberapa orang anak. Dia sudah tua ketika nabi SAW mengawininya. Dia meninggal 3 bulan setelah perkawinan yaitu pada tahun 625 A.D.

6. SALAMA BINT UMAYYA: Suaminya, Abud Allah Abud Al Assad Ibn Al Mogherab, meninggal dunia, sehingga meninggalkan dia dan anak-anaknya dalam keadaan miskin. Dia saat itu berumur 65 tahun. Abu Bakar dan beberapa sahabat lainnya meminta dia mengawini nya, tapi karena sangat cintanya dia pada suaminya, dia menolak. Baru setelah Nabi Muhammad SAW mengawininya dan merawat anak-anaknya, dia bersedia.

7. ZAYNAB BINT JAHSH: Dia adalah putri Bibinya Nabi Muhammad SAW, Umamah binti Abdul Muthalib. Pada awalnya Nabi Muhammad SAW sudah mengatur agar Zaynab mengawini Zayed Ibn Hereathah Al Kalby. Tapi perkawinan ini kandas ndak lama, dan Nabi menerima wahyu bahwa jika mereka bercerai nabi mesti mengawini Zaynab (surat 33:37).

8. JUAYRIYA BINT AL-HARITH: Suami pertamanya adalah Masafeah Ibn Safuan. Nabi Muhammad SAW menghendaki agar kelompok dari Juayreah (Bani Al Mostalaq) masuk Islam. Juayreah menjadi tahanan ketika Islam menang pada perang Al-Mustalaq (Battle of Al-Mustalaq) . Bapak Juayreyah datang pada Nabi SAW dan memberikan uang sebagai penebus anaknya, Juayreyah. Nabi SAW pun meminta sang Bapak agar membiarkan Juayreayah untuk memilih. Ketika diberi hak untuk memilih, Juayreyah menyatakan ingin masuk islam dan menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah yang terakhir. Akhirnya Nabi pun mengawininya, dan Bani Almustalaq pun masuk islam.

9. SAFIYYA BINT HUYAYY: Dia adalah dari kelompok Jahudi Bani Nadir. Dia sudah menikah dua kali sebelumnya, dan kemudian menikahi Nabi SAW. Cerita nya cukup menarik, mungkin Insha Allah disampaikan terpisah.

10. UMMU HABIBA BINT SUFYAN: Suami pertamanya adalah Aubed Allah Jahish. Dia adalah anak dari Bibi Rasulullah SAW. Aubed Allah meninggak di Ethiopia. Raja Ethiopia pun mengatur perkawinan dengan Nabi SAW. Dia sebenarnya menikah dengan nabi SAW pada 1 AH, tapi baru pada 7 A.H pindah dan tinggal bersama Nabi SAW di Madina, ketika nabi 60 tahun dan dia 35 tahun.

11. MAYMUNA BINT AL-HARITH: Dia masih berumur 36 tahun ketika menikah dengan Nabi Muhammad SAW yang sudah 60 tahun. Suami pertamanya adalah Abu Rahma Ibn Abed Alzey. Ketika Nabi SAW membuka Makkah di tahun 630 A.D, dia datang menemui Nabi SAW, masuk Islam dan meminta agar Rasullullah mengawininya. Akibatnya, banyaklah orang Makkah merasa terdorong untuk merima Islam dan nabi SAW.

12. MARIA AL-QABTIYYA: Dia awalnya adalah orang yang membantu menangani permasalahan dirumah Rasullullah yang dikirim oleh Raja Mesir. Dia sempat melahirkan seorang anak yang diberi nama Ibrahim. Ibrahim akhirnya meninggal pada umur 18 bulan. Tiga tahun setelah menikah, Nabi SAW meninggal dunia, dan akhirnya meninggal 5 tahun kemudian, tahun 16 A.H. Waktu itu, Umar bin Khatab yang menjadi Iman sholat Jenazahnya, dan kemudian dimakamkan di Al-Baqi.

SALAM BERBUAH CINTA

dari teman maillist :

Hafiz, sebut saja begitu nama Pria bujangan asal Jawa keturunan Arab ini. Hafiz dikenal sebagai lelaki yang sopan, hanif, dan punya ciri khas, yakni senang mengucapkan salam “Assalaamu’alaikum” kepada siapa pun -muslim- yang dijumpainya di manapun.

Suatu ketika, Hafiz ditugaspindahkan ke kota X, untuk jangka waktu dua tahun. Setibanya di kota X itu, Pria bujangan ini langsung mencari tempat kos/kontrakan yang tidak jauh dari tempatnya bekerja. Setelah tiga hari di kota tersebut, Hafiz baru menyadari bahwa ada gadis cantik dan shalihah yang tinggal hanya beberapa meter dari kos-nya. Seperti biasa, tanpa maksud buruk, tanpa niat menggoda, Hafiz pun mengucapkan salam kepada gadis itu, saat keduanya bersama-sama menunggu bis di tepi jalan.

Sekali lagi, Hafiz tidak punya niat apapun ketika mengucapkan salam. “Dia berjilbab, jadi sudah pasti muslim, maka saya ucapkan salam kepadanya. Lagi pula gadis itu tetangga saya, kan wajar sama tetangga saling menyapa,” alasannya.


Ucapan salam Hafiz dibalas delikkan mata tidak suka dari gadis tetangganya itu. Namun Hafiz tidak peduli, karena niatnya sangat tulus. Begitu pun sore harinya, ketika berpapasan di jalan, Hafiz kembali mengucapkan, “Assalaamu’alaikum Dik…” Jawabannya tidak berbeda dengan pagi hari, wajah tidak suka.

Mungkin pikir si gadis itu, Hafiz tidak ubahnya lelaki iseng yang senang menggoda. Sudah lazim diketahui, lelaki-lelaki iseng dan kurang kerjaan senang menggoda wanita. Dan bila yang digoda adalah wanita berjilbab, ucapan “Assalaamu’alaikum” biasa dijadikan andalan mulut-mulut lelaki ini.

Berbeda dengan Hafiz. Dia tidak sakit hati ketika salamnya tidak dibalas, atau bahkan dibalas dengan tatap mata sinis. Setiap hari, setiap kali bertemu dengan gadis itu tetap mengucapkan salam. Hafiz tidak bosan meski salamnya selalu mendapat jawaban yang serupa, dan sesekali makian, “maunya apa sih?”.

Hafiz hanya membalasnya dengan senyum seraya menjelaskan, “maaf, salam itu hanya doa untuk adik”. Belakangan, Hafiz mengetahui bahwa nama gadis itu, Fibria, sebut saja demikian.

Dua bulan bertugas di kota itu, Hafiz mendapat panggilan dari kantor pusat untuk memberikan laporan tugasnya. Hafiz pun kembali ke Jakarta untuk waktu dua pekan.

Sementara di kota X, pagi harinya. Fibria belum merasakan apa pun. Namun keesokan harinya, gadis itu baru menyadari ada yang ganjil dengan hari-harinya, baik pagi maupun sore. Ya, Fibria merasa ada yang hilang. Setelah berpikir sejenak, barulah ia sadar, tidak ada lagi lelaki yang selama ini mengucapkan “Assalaamu’alaikum” kepadanya. Bahkan keesokan harinya, Fibria mulai celingak-celinguk mencari lelaki pengucap salam itu. Satu-dua bis yang biasa ditumpanginya sengaja dibiarkan berlalu, “mungkin dia terlambat” pikirnya. Namun hingga hampir satu jam, yang dinanti tak kunjung tiba.

Sepekan sudah Fibria tak melihat lelaki pengucap salam. Sepekan pula telinganya tak mendengar suara khas lelaki itu berucap, “Assalaamu’alaikum Dik…” Rupanya Fibria mulai kangen dengan ucapan salam itu. Jika mulanya ia merasa ucapan salam Hafiz itu sebagai godaan lelaki iseng, ternyata kini ia merindukan ucapan salam itu.

Fibria hampir putus asa, hingga satu pekan berikutnya tak kunjung terdengar ucapan salam khas nan lembut itu. Sampai di satu pagi, dari arah belakang terdengar suara khas itu lagi, “Assalaamu’alaikum Dik…” Kali ini giliran Hafiz yang terheran-heran, karena jawaban lembut dari wajah manis yang diterimanya, “Wa’alaikum salam kak… apa kabar? kemana saja? lama tidak berjumpa… … …”

Sejak hari itu, keduanya menjadi akrab. Hari-hari setelah itu, diisi dengan keriangan keduanya dalam setiap perjumpaannya. Sebuah bukti nyata, bahwa ucapan salam jika diberikan secara ikhlas kepada siapa pun, akan membawa kedamaian bagi yang menerimanya. Hanya beberapa bulan setelah itu, belum satu tahun Hafiz tinggal di kota X itu, Hafiz dan Fibria sepakat untuk menyatukan hati dalam bingkai rumah tangga.

Maha suci Allah dan Rasulullah, yang mengajarkan kalimat “Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuhu”

Popular Posts

 
Design by NewWpThemes | Blogger Theme by Lasantha - Premium Blogger Themes | New Blogger Themes